Biasalah.news – Akhir-akhir ini, kasus bos ajak karyawan staycation dari Cikarang menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya, sang korban, AD (24) mengaku mengalami pelecehan secara verbal dan fisik oleh pelaku yang merupakan bosnya, H.
Kuasa hukum AD, Untung Nassari, mengatakan pelecehan tersebut terjadi pada korban saat sedang bekerja.
“Seperti yang dikatakan klien atau pelapor, memang ada body shaming, kejadian yang terjadi saat dia (korban) masuk ke ruangan,” kata Untung saat ditanya Kompas.com, Senin (15/5/2023).
Saat itu H menyentuh tangan AD, korban refleks mengusap tangannya, dan H mengatakan tangan AD sangat halus.
Sehubungan dengan tindakannya, H dipecat sementara dari perusahaan untuk memfasilitasi penyelidikan penegakan hukum.
Ruddy Budhi Gunawan, Kuasa Hukum PT Ikeda, perusahaan outsourcing tempat AD bekerja, mengatakan AD sudah bekerja sejak November 2022.
Sementara itu, H merupakan manajer outsourcing sebagai mitra perusahaan tempat AD bekerja, dan sudah bekerja sejak 2020, lanjut Ruddy.
Ruddy menegaskan H dinonaktifkan sementara agar fokus pada proses hukum.
Jika terbukti bersalah, perusahaan pasti akan memberikan sanksi yang berat.
Ruddy melanjutkan, pihak PT Ikeda menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwajib.
Selain itu, Ruddy mengatakan, pihaknya juga sudah memanggil H untuk dimintai keterangan. Apalagi konon selain mengajak staycation, H juga mengajak AD makan dan jalan-jalan.
Selain bekerja di PT Ikeda, H juga seorang dosen di Universitas Pelita Bangsa di Desa Cibatu, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Namun, kasus yang menghantuinya saat ini menyebabkan dia harus diberhentikan kampus untuk sementara waktu.
Pemberhentian tersebut karena pihak kampus merasa dirugikan atas perbuatan H.
Keputusan penangguhan H tersebut dilakukan secara terbuka oleh pihak kampus Universitas Pelita Bangsa.
Hal ini diatur dalam Keputusan Perdana Menteri no. 004/SL/1.1NA/UPB/V/2023.
“Universitas Pelita Bangsa dengan tegas tidak menoleransi segala bentuk kekerasan seksual sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”, bunyi peraturan universitas tersebut.
Universitas Pelita Bangsa tetap berada di bawah keputusan rektor dan juga tunduk sepenuhnya pada proses peradilan yang sedang berlangsung.
“Kami juga menyediakan layanan pengaduan penyerangan atau kekerasan seksual kepada semua akademisi dan anggota masyarakat,” bunyi perintah eksekutif tersebut.
Baca juga: GEMPAR! Penemuan Mayat Dicor di Semarang!
Sayangnya, meskipun telah menyuarakan ketidakadilan yang terjadi kepadanya, AD justru dikritik di jejaring sosial karena penampilannya oleh pengguna internet.
Dalam video yang diposting di akun TikTok @ikypangestuaaa, sejumlah komentar negatif pun dilontarkan kepada korban, termasuk salah satunya soal penampilannya.
“Dari penampilan udah kelihatan sih,” tulis akun @jualbeligunung..
“Dari raut mukanya pro player ya gengs,” tulis akun @rafezzxy.
“Kelihatan sih pemainnya, dari segi casing yang paham juga paham,” tulis @qiwol16.
“Dia pun kayaknya pemain dari badannya,” tulis @rizzkyritonga109.
Seiring dengan menerima komentar negatif tentang penampilannya, beberapa netizen menghina AD setelah dia muncul di berbagai saluran TV untuk wawancara.
Pengguna internet menganggap AD sebagai panjat sosial atau bansos.
Dalam postingan @alfidamayanti22_, akun Instagram yang diduga milik AD, terlihat AD mengunggah komentar netizen.
Pengguna internet terlihat mengirim pesan AD melalui pesan langsung (DM) di Instagram.
Seorang netizen menulis, “Si pansos, manfaatin situasi ya mbiak wkwkwk,”
Menanggapi komentar netizen, AD mengaku tidak suka menjadi populer lewat kasus pelecehan.
“Dikira enak bgt kali viral gara-gara masalah ini,” tulis AD. “Gamikir gimana kalau kejadian ini terjadi sama mbanya!” lanjutnya.
Menanggapi ejekan netizen terhadap AD, Aktivis Perempuan dan Konsultan Gender Tunggal Pawestri menyebut fenomena ini sebagai victim blaming, yakni sikap konsisten menyalahkan korban.
“Victim blaming masih menjadi budaya yang sangat kuat di Indonesia. Jadi pasti ‘oh karena korbannya seperti itu, karena korbannya seperti itu’,” kata Tunggal kepada Kompas.com, Selasa (16/5/2023).
Tunggal menambahkan, sikap menyalahkan korban lebih dari sekadar penampilan korban.
Seseorang dapat menggunakan segala macam alasan untuk menyalahkan korban atas apa yang terjadi pada mereka.
“Apa saja bisa jadi penyebabnya. Kalaupun dia (korban) berpakaian tertutup dan berhijab, pasti ada orang lain mencari-cari alasan kesalahan yang lain,” kata Tunggal.
“Akan selalu ada orang yang menganggap korban ikut serta terhadap rasa bersalah atau kejahatan. Tapi tidak demikian halnya dengan korban kekerasan seksual,” lanjutnya.
Apalagi, kata Tunggal, fenomena menyalahkan korban akan sulit dihentikan.
Meski begitu, dia berharap masyarakat berhenti menyalahkan para korban.
“Saya kira saya juga melihat orang-orang membela (korban yang di-victim blaming). Kalau yang sarkastik, tentu kita ingin mereka berhenti. Tapi ya, saya pikir itu perlahan-lahan akan berkurang, orang yang membela juga banyak yang melawan,” tutupnya.
Sumber: Kompas.com
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!