Biasalah.news – Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengatakan jika melihat tanda-tandanya, Indonesia mungkin akan mengalami resesi seks. Menurut Hasto, gejala penurunan seksualitas masyarakat Indonesia dapat dilihat dari bertambahnya usia menikah penduduk Indonesia.
Jika di masa lalu kebanyakan pernikahan melibatkan pasangan muda, tren saat ini banyak pasangan yang menunda pernikahan.
“Potensi (resesi seksual Indonesia) memang ada ya, tapi lama karena seperti ini usia pernikahan semakin panjang. Ini (berbicara) tentang pernikahan, bukan seks,” kata Hasto.
Selain penurunan usia pasangan, tren jumlah anak yang lebih sedikit dalam keluarga kecil juga terjadi.
Baca Juga: Selamat!, Hyun Bin dan Son Ye-jin Dikaruniai Anak Laki-laki
Dikutip dari laman The Atlantic, istilah penurunan seksual berasal dari artikel Kate Julian yang muncul di cover story The Atlantic edisi Desember.
Namun, yang dimaksud Kate dalam artikel tersebut adalah kebiasaan seksual orang Amerika yang cenderung memiliki toleransi tinggi terhadap seks pranikah.
Menurut survei Centers for Disease Control and Prevention tentang perilaku berisiko remaja, jumlah siswa yang pernah berhubungan seks turun dari 54% menjadi 40%.
Dengan kata lain, seks telah berubah dari sesuatu yang dialami sebagian besar siswa sekolah menengah Amerika menjadi sesuatu yang tidak pernah mereka alami.
Terlebih lagi, ini berarti tingkat kehamilan remaja di Amerika Serikat turun menjadi sepertiga dari tingkat sebelumnya.
Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, mengatakan dalam buku Kate, “Anak muda saat ini mungkin memiliki lebih sedikit pasangan seksual daripada dua generasi yang lalu.”
Menurutnya, 15% orang di usia 20-an kini belum pernah berhubungan seks meski sudah dewasa. Dia juga mengatakan bahwa antara akhir 1990-an dan 2014, rata-rata jumlah hubungan seksual orang dewasa per tahun menurun dari 62 menjadi 54 kali, menurut survei sosial umum.
Pada saat yang sama, menurut survei terbaru tahun 2016, jumlahnya semakin turun.
Kate juga mengatakan dalam artikel tersebut bahwa berdasarkan penelitiannya, dia yakin penurunan seksual ini mungkin disebabkan oleh pengaruh budaya hookup, tekanan finansial, tingkat kecemasan yang tinggi, kerapuhan psikologis dan meluasnya penggunaan antidepresan.
Selain itu juga disebabkan oleh streaming TV, faktor lingkungan, testosteron menurun, pornografi digital, maraknya vibrator, aplikasi kencan, pertimbangan karir, smartphone, informasi yang berlebihan dan munculnya berbagai orientasi seksual.
“Mungkin lebih banyak orang yang mendahulukan sekolah atau pekerjaan daripada cinta dan seks, setidaknya untuk sementara, atau mungkin mereka hanya menjadi selektif dalam memilih pasangan hidup. Jika demikian, bagus untuk mereka,” kata Kate dalam postingannya.
Sementara itu, sosiolog Drajat Tri Kartono dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menjelaskan jika generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih untuk hidup sendiri, bisa terjadi penurunan seksual di Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa orang ingin hidup sendiri karena tidak merasa bertanggung jawab atas pasangannya atau bahkan anak-anaknya. Drajat mengatakan keengganan generasi muda Indonesia untuk menikah juga tercermin dalam penelitiannya tentang perempuan berdaya.
Perempuan berdaya usia 26-30 tahun yang diwawancarai Drajat memilih tidak menikah karena lebih mengutamakan karir. Mereka juga tidak mau menikah, dengan alasan ingin melanjutkan pendidikan dan mengurus keuangan dan kehidupan mereka.
“Dengan begitu mereka (yang jomblo) bisa mengatur waktunya, jadi kalau capek mereka tidur dan tidak ada yang mengganggu,” jelas Drajat.
Drajat juga mengatakan, generasi muda enggan menikah karena tidak ingin terlibat perseteruan keluarga. Menurutnya, generasi muda takut konflik keluarga karena mengganggu pekerjaan dan mempengaruhi pikiran selama beberapa hari.
“Manfaat emosional tidak sebanding dengan pertengkaran, jadi keluarga tidak dianggap sangat menguntungkan,” jelasnya.
Drajat menyebutkan dampaknya jika Indonesia mengalami resesi seks. Pertama, penurunan seksual akan mengurangi jumlah keluarga. Pengurangan jumlah keluarga pada gilirannya menimbulkan bahaya pengurangan jumlah kelahiran.
Selain itu, penurunan angka kelahiran akan semakin membebani penduduk produktif dalam 5-10 tahun ke depan. Artinya, orang produktif akan memikul (beban) karena tidak banyak orang yang bekerja, kata Drajat kepada Kompas.com, Sabtu (11/10/2022).
Efek lain dari resesi seks adalah perlambatan ekonomi. Drajat mengatakan, penurunan jumlah rumah tangga tentu saja diikuti dengan penurunan keinginan membeli rumah atau keperluan rumah tangga.
Drajat yakin angka kelahiran yang rendah juga berkontribusi terhadap penurunan ekonomi, karena lebih banyak orang berhenti membeli barang-barang yang dibutuhkan anak-anak mereka.
“Itu ‘kan kebutuhan penting untuk meluruskan perekonomian rakyat,” katanya.
Sumber: Kompas.com
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!