Biasalah.news – Populasi Cnemaspis Muria, atau dikenal sebagai Cicak Batu Muria, tercatat sebanyak 60 ekor. Pencatatan hewan endemik tersebut dilakukan oleh Green Community dan Muria Research Center Indonesia (MRC INA) dan berlangsung di sekitar Sungai Ceweng, perbatasan Colo dan Kajar.
Masih banyak yang harus dilakukan untuk menentukan jumlah pasti dari hewan-hewan ini.
Hewan yang tergolong spesies yang baru ditemukan ini diklasifikasikan sebagai hewan yang dilindungi. Lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk melindungi dan melestarikan reptil ini.
Habitat Cicak Batu Muria ada di Sungai Ceweng, di perbatasan antara Colo dan Kajar, pada ketinggian sekitar 500-650 meter di atas permukaan laut. Sungai itu penuh dengan batu. Di kanan dan kiri habitat terdapat perkebunan kopi Muria.
Hewan ini juga berperan sebagai pembasmi hama alami di perkebunan kopi Muria. Untuk makanan hewan tersebut adalah serangga. Hal tersebut dijelaskan oleh Lutfian Nazar, ketua kelompok riset Green Community.
Menurutnya, hewan tersebut merupakan pengendali hama alami tanaman kopi Muria. “Cicak itu bisa membantu petani karena merupakan penolak serangga alami,” ujarnya pada hari Selasa (6/12/2022) di Omah Jelita Resto, mempresentasikan hasil penelitiannya.
Namun petani kopi Muria menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, hal ini dipandang sebagai ancaman.
“Pohon kopi sering disemprot herbisida dan insektisida. Kadal merupakan musuh alami hama kopi dan jika serangga tersebut terkena pestisida kemudian tertelan oleh cicak maka akan mempengaruhi kelangsungan hidupnya,” jelasnya.
Ia juga percaya bahwa pestisida juga akan mencemari air sungai yang menjadi habitat Cicak Batu Muria dan makhluk lainnya. Selain itu, ada predator yang memburu kadal.
“Kemungkinan hewan lain akan menjadi predator alami Cicak Batu Muria,” jelasnya.
Baca Juga: Kata Ilmuwan: Video Domba Berputar-Putar 12 Hari di China
Cnemaspis Muria atau Cicak Batu endemik Muria dulunya hidup di Gunung Muria di Jawa Tengah. Spesies dunia dari genus Cnemaspis tersebar di seluruh benua Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Di Asia Tenggara, ditemukan di Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Pada tahun 2018, genus Cnemaspis pertama kali ditemukan di Pulau Jawa. Yakni di sisi selatan Gunung Muria, di perbatasan desa Kajar dan Colo.
Beberapa waktu lalu, proses identifikasi spesies awalnya dilakukan oleh kelompok dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). LIPI berhasil mengetahui ciri-ciri Cnemaspis Muria seperti bentuk tubuh, perilaku hewan, dan lokasi spesies tersebut.
Untuk melanjutkan identifikasi tersebut, Green Community dan MRC INA telah mengidentifikasi ulang reptil ini. Tujuan identifikasi yang dilakukan oleh Green Community dan MRC INA adalah untuk mengetahui jumlah populasi spesies, sebaran satwa dan ancaman yang mengganggu spesies tersebut untuk diketahui masyarakat setempat.
Karena hewan ini diklasifikasikan sebagai spesies baru, kesulitan tetap ada, termasuk data yang tidak lengkap dan potensi ancaman.
Tim peneliti melakukan survei dari semua sisi Gunung Muria, termasuk wilayah Jepara, Pati, dan Kudus untuk mengetahui keberadaan spesies ini.
“Sejauh ini dari 12 sungai yang diteliti, keberadaan spesies ini baru ditemukan di titik pendeteksian pertama yaitu Sungai Kajar,” jelasnya.
Keadaan sungai berbatu, dengan volume air yang kecil, tetapi pasir atau tambalan kering di sepanjang tepiannya. Ada perkebunan kopi di kedua sisi sungai. Mengapa Sungai Qajar menjadi tempat favorit bagi reptil penyendiri ini masih belum jelas.
“Mungkin karena kelembapan atau sifat bebatuannya,” ujarnya. “Bahkan di sungai yang memiliki karakteristik yang sama dengan Kajar, tidak ada cicak. Kami hanya menemukan mereka di Sungai Kajar,” katanya.
Cicak Batu Muria berada di ketinggian 500-650 m dpl, pihaknya tidak menemukan adanya biawak di bawah 500 m dpl.
“Tapi cicak itu masih kami temukan di sungai yang tingginya 700 meter di atas permukaan laut. Ke depannya akan kami upayakan lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Pada ketinggian 500 hingga 650 meter di atas permukaan laut, pihaknya menghitung populasi dengan metode Capture Mark Release Recapture. Itu berarti menangkap individu cicak dan mencatat waktu penangkapan, lokasi dan ukuran hewan, kemudian menandai cicak dengan cat yang menyala dalam gelap dan mendeteksi ulang individu cicak tersebut dengan senter UV.
“Dari apa yang kami temukan saat ini ada 60 ekor, yang rata-rata cicak dewasa berukuran sekitar 50 hingga 60 mm. Mereka didominasi oleh cicak jantan, kami beberapa kali menemukan telur di perut cicak betina. Mungkin sekarang adalah musim bertelur, ”katanya.
This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!